BIGGER IS NOT ALWAYS BETTER
Nur Iswanto
Pendahuluan
Dalam berbagai kesempatan dan publikasi, selalu dinyatakan bahwa salah satu persoalan di dalam industri gula nasional, khususnya di sektor off farm, adalah rendahnya kapasitas pabrik gula, terutama pabrik milik BUMN. Rendahnya kapasitas ini menjadi salah satu penyebab tingginya biaya produksi serta daya saing industri yang rendah. Sebab lain yang selalu disebut adalah peralatan dan teknologi yang sudah kuno, mesin yang tua, SDM yang kurang handal, serta berbagai persoalan lainnya. Dan dalam beberapa tahun belakangan ini di Indonesia sejumlah pabrik gula baru dibangun dengan kapasitas cukup besar, sekitar 12.000 TCD. Sedangkan di dunia, telah dibangun pabrik dengan kapasitas yang tidak terbayangkan sebelumnya, seperti White Nile Sugar Mill di Sudan yang memiliki kapasitas giling 24.000 TCD, atau sebuah pabrik gula di Thailand yang berkapasitas mendekati 50.000 TCD.
Namun, selain memiliki sejumlah keuntungan, kapasitas pabrik gula yang semakin besar secara inheren juga menyimpan berbagai persoalan yang cukup serius. Masalah-masalah tersebut antara lain jarak dan waktu tempuh bahan baku tebu yang makin lama dan makin jauh, atau cut to crush time yang makin panjang, manajemen logistik khususnya transportasi yang makin rumit, risiko penurunan rendemen, risiko rendahnya pemanfaatan kapasitas terpasang (capacity utilization), lay out pabrik yang makin rumit, pengendalian operasional yang makin kompleks, serta risiko investasi yang akan meningkat sangat besar.
Dan pada akhirnya, masalah-masalah tersebut sangat berpotensi menyebabkan pabrik-pabrik berkapasitas besar mengalami berbagai persoalan serius di tahun-tahun awal operasionalnya, yang secara akumulatif akan berujung pada kesulitan keuangan.
- Cut to Crush Yang Makin Panjang
Tebu, seperti halnya produk pertanian lainnya, bersifat perishable, yaitu mudah rusak setelah ditebang. Sehingga tebu harus sesegera mungkin digiling dalam kondisi masih segar. Cut to crush time adalah parameter yang digunakan untuk mengukur kesegaran tebu saat digiling. Dan hal ini sangat penting dan sangat menentukan dalam operasional pabrik gula, karena akan sangat mempengaruhi tingkat recovery atau rendemen pabrik.
Pabrik gula dengan kapasitas yang makin besar tentunya akan membutuhkan suplai tebu dari area penanaman yang semakin luas dan bahkan semakin jauh jaraknya dari pabrik. Bagi pabrik gula yang memiliki lahan HGU atau captive area yang sangat luas serta berada dalam 1 hamparan, jarak antara pabrik gula dengan lahan penanaman tebu di lokasi terjauh mungkin tidak akan menjadi masalah. Seperti halnya yang terdapat di Brazil atau beberapa pabrik gula yang berada di bagian selatan Pulau Sumatera. Cut to crush relatif dapat dikelola dengan jauh lebih mudah. Apalagi bagi pabrik yang memiliki lahan HGU, dimana semua operation management berada di bawah satu kendali. Kesegaran tebu tetap terjaga.
Namun apabila suplai tebu berasal dari petani, seperti yang terjadi pada sebagian besar pabrik gula di Jawa, dengan area penanaman yang terpencar-pencar dan dalam luasan yang sempit (kurang dari 2 Ha), maka cut to crush akan jadi masalah. Bukan tidak mungkin tebu yang masuk di pabrik gula berasal dari daerah yang jaraknya melebihi 50 km. Tebu sudah dalam kondisi tidak segar lagi, alias wayu atau deteriorated.
Sebagai ilustrasi, pabrik gula dengan kapasitas giling 3.000 TCD, dan dengan produktivitas lahan rata-rata 80 T/Ha, hanya butuh sekitar 37,5 Ha untuk ditebang setiap harinya. Dan bila pabrik giling selama 150 hari/tahun, total hanya membutuhkan 450.000 Ton tebu dari sekitar 5.625 Ha lahan. Untuk di Jawa, area seluas ini masih bisa dikelola untuk berada pada jarak kurang dari 25 km dari pabrik gula. Cut to crush time masih dapat terjaga sesuai standard, maksimum 24 jam.
Sebaliknya dengan pabrik berkapasitas 10.000 TCD misalnya, luasan area yang harus ditebang akan menjadi lebih dari tiga kali lipatnya. Begitu juga dengan sebaran lahan penanaman tebu, akan meliputi radius area yang jauh lebih jauh, bahkan bukan tidak mungkin mencapai lebih dari 100 km. Ditambah dengan kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi, maka cut to crush time akan sulit dikendalikan, dengan risiko kesegaran tebu akan jauh berkurang.
- Manajemen Logistik Yang Makin Kompleks.
Semakin tinggi kapasitas giling suatu pabrik, maka manajemen logistik pasti akan semakin kompleks. Apabila penebangan tebu dilakukan secara manual, sedangkan kapasitas atau produktivitas tiap penebang pada kisaran 1 s.d. 1,5 ton tebu/hari, maka dibutuhkan sekitar 7.000 s.d. 10.000 tenaga penebang untuk mencukupi kebutuhan giling pabrik berkapasitas 10.000 TCD. Di saat semakin turunnya daya tarik di sektor perkebunan seperti saat ini, mendapatkan serta mengelola tenaga penebang 7.000 s.d. 10.000 orang, tentunya bukan perkara mudah. Di Brazil usia rata-rata penebang tebu bahkan telah mencapai 48 tahun.
Tebang secara mekanis atau menggunakan cane harvester tentunya merupakan jawaban atas persoalan kekurangan tenaga penebang. Namun kondisi di lapangan juga tidak selalu mendukung. Luas petak-petak lahan yang relatif kecil seperti di Jawa, tentunya akan menyulitkan operasional serta menurunkan efisiensi harvester secara signifikan. Sedangkan penyatuan atau konsolidasi pengelolaan lahan juga tidak selalu mudah untuk dijalankan. Belum lagi petak-petak lahan yang tersebar di area yang sangat luas, sehingga butuh mobilisasi yang tinggi dari harvester. Sedangkan untuk lahan HGU, beberapa perusahaan tidak melakukan tebang secara mekanis atas dasar pertimbangan kerugian dan masalah yang akan timbul apabila terjadi pemadatan tanah atau soil compaction.
Untuk mengangkut tebu ke pabrik dari jarak yang jauh dan harus melalui jalan umum, padatnya lalu lintas serta kesulitan untuk menggunakan moda angkut berukuran besar (lebih dari 12 ton), tentunya akan menurunkan efisiensi transportasi bahan baku. Biaya transportasi akan menjadi tinggi. Sebagai ilustrasi, apabila kapasitas truk pengangkut tebu rata-rata 8 ton/truk, maka untuk pabrik berkapasitas 10.000 TCD akan dibutuhkan lebih dari 1.200 pergerakan truk pengangkut tebu setiap harinya. Dan bila cane delivery dalam sehari semalam hanya dilakukan dalam 12 jam, maka tiap jamnya rata-rata akan terjadi pergerakan lebih dari 100 truk. Atau dengan kata lain, akan ada 200 pergerakan truk masuk dan keluar pabrik tiap jamnya. Dapat dibayangkan bagaimana padatnya lalu lintas di sekitar pabrik.
- Penurunan Rendemen
Rendemen adalah faktor dominan dalam menilai kinerja teknis suatu pabrik gula, serta faktor paling menentukan guna mencapai kondisi keuangan perusahaan yang sehat. Untuk jumlah tebu digiling yang sama, berapa output produk dan hasil penjualan tentunya akan sangat ditentukan oleh rendemen pabrik gula tersebut. Dan kesehatan keuangan perusahaan, apakah itu memakai sistem bagi hasil ataupun beli putus tebu, akan sangat ditentukan oleh capaian rendemen pabrik. Sehingga dalam operasional pabrik gula, seluruh faktor yang berpotensi menurunkan rendemen pabrik harus dapat dikendalikan dengan sebaik mungkin.
Sebagai contoh, risiko cut to crush yang semakin panjang akan meningkatkan jumlah sucrose yang hilang, terkonversi atau terinversi menjadi gula invert atau mono sakarida, yang tidak dapat direcovery sebagai produk. Inversi sucrose ini akan menimbulkan efek berikutnya, yakni terjadinya peningkatan kandungan bukan gula atau non-sucrose impurities dalam nira, yang juga akan meningkatkan kehilangan sucrose. Di dalam perhitungan factory control dengan Java Method atau berdasarkan rumus Winter – Carp, setiap 1 bagian non-sucrose akan menyebabkan kehilangan sucrose sebesar 0,4 bagian, hilang bersama tetes atau final molasses. Sehingga total kehilangan untuk setiap 1 bagian sucrose yang terinversi selama periode jeda cut to crush adalah 1,4 bagian sucrose.
Dan tentunya risiko penurunan rendemen yang dialami oleh pabrik gula berukuran besar bukan saja diakibatkan oleh faktor semakin panjangnya cut to crush, namun juga dari peningkatan risiko ketidak stabilan suplai tebu, pengendalian kualitas tebangan, maupun pengendalian aspek agronomis yang semakin kompleks sebagai akibat dari semakin luas dan tersebarnya area penanaman tebu.
- Risiko Rendahnya Capacity Utilization
Risiko tidak terpenuhinya kapasitas giling pabrik (capacity utilization) akan semakin meningkat dengan semakin besarnya kapasitas pabrik gula. Penyebabnya bisa sangat beragam, mulai dari ketidak tersediaan tenaga penebang, moda transportasi yang tidak mencukupi, hambatan selama perjalanan (traffic congestion), dsb. Bahkan di Jawa, ada pabrik gula baru yang berkapasitas 6.000 TCD cuma mampu menggiling tebu rata-rata sebanyak 2.400 – 3.000 TCD. Bahkan pabrik gula baru lainnya yang berkapasitas 12.000 TCD, realisasi giling rata-rata hariannya hanya pada kisaran 6.000 TCD. Dan hal ini berlangsung dalam beberapa musim giling.
Situasi tersebut di atas tentunya akan sangat memberatkan kondisi keuangan perusahaan. Selain risiko tidak tercapainya kapasitas giling harian, yang lebih berat tentunya adalah risiko tidak tercapainya target jumlah tebu digiling selama 1 musim giling. Bila hal ini yang terjadi, sudah dapat dipastikan bahwa seluruh asumsi dan ekspektasi yang dibuat dalam perhitungan kelayakan ekonomis (FS) pabrik gula tersebut tidak akan tercapai.
Untuk indikator capacity utilization, tentunya ada 2 faktor yang menentukan, yaitu jumlah pasok tebu serta kelancaran giling (jam berhenti giling). Untuk pabrik gula baru, apabila periode commissioning and performance test dapat dilalui dengan lancar, maka yang paling menentukan capacity utilization adalah jumlah pasok tebu. Dan kenyataannya, apabila pabrik bekerja dengan kecepatan giling yang lebih rendah daripada kecepatan giling desainnya, maka yang akan terjadi adalah peningkatan kehilangan gula (sugar losses). Ekstraksi di Stasiun Gilingan akan turun karena ketebalan bagasse di antara roll gilingan tidak sesuai dengan mill setting. Begitu juga dengan tingkat kehilangan gula yang akan semakin tinggi di Stasiun Pemurnian, terutama di Clarifier serta Evaporator, akibat dari retention time yang semakin panjang, dsb.
- Lay Out Pabrik Makin Rumit Dan Pengawasan Makin Sulit
Dengan kapasitas giling yang semakin tinggi, tentunya lay out pabrik akan semakin kompleks. Apalagi untuk pabrik-pabrik yang lay outnya terkompartemenisasi (compartmentalized), dimana masing-masing Stasiun berada pada kompartemen-kompartemen yang terpisah. Misal, Stasiun Gilingan berada di suatu gedung yang terpisah dengan Stasiun Pemurnian. Begitu juga dengan Stasiun Evaporator yang terpisah dengan Stasiun Masakan, Stasiun Puteran dan Pengeringan. Hal ini tentunya akan mengakibatkan pengawasan operasional yang semakin sulit dan berat bagi para shift superintendent/supervisor. Padahal idealnya pengawasan operasional dalam pabrik yang baik harus dapat dilakukan secara 3D (3 Dimentional) View dari suatu titik atau posisi.
- Risiko Kegagalan Investasi Yang Meningkat
Membangun pabrik gula dengan kapasitas yang makin besar, tentunya akan membutuhkan investasi yang semakin besar pula. Hal ini sekaligus akan semakin memperbesar risiko keuangan yang dipertaruhkan. Pabrik gula dengan kapasitas terpasang 12.000 TCD, namun hanya mampu mengolah 6.000 ton/hari, atau dengan kapasitas 6.000 TCD namun hanya mendapatkan bahan baku sebanyak 2.400 ton/hari, tentu akan mengalami kesulitan keuangan yang sangat berat.
Perhitungan annual profit, return on investment, IRR, discounted cash flow, atau payback period, dan parameter keuangan lainnya pasti sebelumnya didasarkan pada asumsi bahwa output serta hasil penjualan produk pada kapasitas desain atau kapasitas terpasang. Pabrik dengan kapasitas 12.000 TCD, dengan ekspektasi bekerja efektif selama 150 hari selama satu musim giling, akan membutuhkan pasok tebu sekitar 1.800.000 Ton/musim giling.
Apabila tebu yang diolah hanyalah separuhnya, dan dengan rendemen yang jauh lebih rendah, maka biaya pokok produksi per unit produk pastilah akan meningkat drastis. Belum lagi beban keuangan yang tetap harus dipenuhi berupa bunga pinjaman maupun cicilan pokok hutang. Kecuali bila proyek pembangunan pabrik dilakukan tanpa berhutang pada bank atau sindikasi bank. Ditambah dengan biaya transportasi yang semakin meningkat, biaya SDM maupun biaya-biaya lain yang relatif tetap, maka berbagai masalah keuangan sangat mungkin akan menimpa, seperti kerugian operasional, kesulitan cash flow, dsb.
Memang untuk setiap pabrik gula yang baru dibangun di Indonesia, akan diberikan insentif untuk mengimpor dan mengolah raw sugar. Selain itu, di awal operasi pabrik gula tersebut hanya berkewajiban memiliki lahan sebesar 20% dari total kebutuhan lahan untuk pasok tebunya. Namun dengan pasok tebu yang lebih rendah dari design capacity, maka kinerja teknis pabrik tersebut pasti tidak akan tercapai, atau lamanya waktu giling akan jauh lebih singkat daripada harapan. Belum lagi kenyataan bahwa persaingan untuk memperebutkan tebu yang ada (existing) dengan pabrik-pabrik lama yang akan meningkat drastis. Perang harga pasti tidak akan terhindarkan, dan eskalasi persaingan bukan tidak mungkin akan sampai pada kondisi yang saling mematikan. Suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi semua pihak, serta industri gula secara nasional.
Penutup
Membangun pabrik dengan kapasitas yang semakin besar, termasuk pabrik gula, memang akan memberikan beberapa keuntungan, termasuk secara teoritis biaya per satuan output yang dapat ditekan lebih rendah. Namun dalam mengambil keputusan tentang berapa kapasitas suatu pabrik gula yang akan dibangun, sebaiknya tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan tersebut.
Yang paling mendasar, berbeda dengan industri manufaktur lainnya, industri gula harus mengolah bahan baku yang bersifat perishable, alias mudah rusak. Sehingga untuk mendapatkan hasil recovery yang maksimal, tebu harus digiling sesegera mungkin. Kapasitas pabrik yang lebih besar akan meningkatkan kompleksitas dalam aspek harvesting and transportation, serta manajemen logistik lainnya, yang pada gilirannya akan berujung pada penurunan kinerja pabrik.
Semakin besar kapasitas suatu pabrik yang dibangun, maka akan semakin besar pula potensi risiko kegagalan investasi. Penurunan kinerja teknis serta risiko investasi yang semakin besar haruslah dimitigasi dengan secara cermat. Karena bukan tidak mungkin, masalah yang timbul akan menghilangkan (off set) keunggulan dari pabrik gula berukuran besar. Bahkan menjadi disadvantageus atau draw back sepanjang pabrik beroperasi.
Special Acknowledgement
Many thanks to Mr. J.J. Bhagat, The Managing Director of STMPL India, for valuable inputs and discussions.