INDUSTRI GULA NASIONAL BERBASIS TEBU DALAM PUSARAN MASALAH.

Oleh  :  Colosewoko

Dalam periode 5 tahun terakhir, berbagai kebijakan pemerintah dibidang pergulaan, yang   semangatnya ingin mendorong berkembangnya industri gula nasional, namun karena  gerakannya tidak sinkron satu sama lain dan  kurang seiring dan sejalan dengan kondisi, kebutuhan dan karakteristik industri gula berbasis tebu, justru berujung pada munculnya pusaran  masalah, dan sejauh ini telah menenggelamkan eksistensi beberapa PG dan mengancam keberlangsungan industri gula kedepan.

Sejauh ini upaya untuk memutus rantai  masalah tersebut telah didiskusikan oleh instansi terkait, para pakar, praktisi dan stake holder pergulaan lainnya, namun kenyataannya  ibarat mengejar bayang-bayang disenja hari, semakin dikejar semakin panjang, dan  turbulensi yang terbentuk  tersebut semakin hari semakin dahsyat dan kedepan berpotensi  mengancam eksistensi  pabrik gula,  khususnya PG-PG yang lemah,  yang bahan bakunya mengandalkan pasokan tebu dari petani melalui pola kemitraan.

Kebijakan tersebut antara lain : Perubahan pola kredit dari KKPE menjadi KUR (dihapusnya fungsi avalis PG terhadap kredit petani dan hilangnya kekuatan PG untuk mengikat petani); pembangunan dan beroperasionalnya pabrik-pabrik  gula baru di Jawa (keterbatasan lahan  dan timbulnya persaingan antar PG untuk perolehan bahan baku tebu);  Penerapan wajib SNI GKP (adanya kelemahan perubahan warna pada proses penyimpanan GKP dari tehnology sulfitasi); Penetapan harga acuan  minimum pembelian gula ditingkat petani dan penjualan maksimum ditingkat konsumen ( tidak seimbangnya harga gula dan beras yang menurunkan animo petani menanam tebu); Pelaksanaan kebijakan impor yang kurang transparan (penetapan pelaku impor, volume, distribusi, dan harga penjualan yang berdampak pada rendahnya harga gula dipasaran dan  menurunnya pendapatan petani);  serta berkembangnya sistem pembelian tebu putus dari petani oleh PG (terdekotominya PG yang kuat dan yang lemah dalam memperoleh tebu), yang kesemuanya bermuara pada kondisi memudarnya pola kemitraan PG dengan petani dan tidak terjaminnya bahan baku tebu  bagi PG untuk beroperasi secara Optimal serta

terancamnya kelestarian PG.

Selain hal tersebut pada tataran industri gula nasional telah terjadi konflik berkepanjangan antara industri gula berbasis tebu dengan industri gula rafinasi berbasis raw sugar impor karena adanya ketimpangan, dimana  PG rafinasi memiliki banyak keunggulan. ( modal, tenaga kerja, mutu dan harga produk, waktu operasi/hari kerja per tahun, terjaminnya pasokan bahan baku sepanjang tahun tanpa lahan kebun, pengaruh musim yang relatif kecil, kapasitas proses jauh lebih besar dengan beaya pembangunan pabrik yang lebih murah, fasilitas yang diterima dan keuntungan usaha yang realif jauh lebih besar).

Sementara itu Dewan Gula Indonesia (DGI ) yang antara lain berfungsi mengintegrasikan kebijakan dari berbagai lembaga pemerintah terkait  telah dibubarkan pada tahun 2014, dan yang terjadi saat ini penetapan kebijakan pergulaan oleh instansi terkait  seolah berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak tersedia lagi neraca gula nasional yang valid yang menjadi dasar dalam penetapan kebijakan pengembangan industri gula nasional.

Disamping faktor-faktor tersebut diatas, sebagian industri gula berbasis tebu juga memiliki permasalahan intern yang sudah kronis baik tehnis mupun  non tehnis,  yang menjadi faktor  kelemahan yaitu a.l : memudarnya pelaksanan budidaya sesuai baku tehnis, mulai dari kelemahan dalam penyediaan bibit unggul, penyelenggaran pemupukan, pemeliharaan sampai penanganan panen dan paska panen;  lemahnya pelaksanaan manajemen on farm dan off farm ( adanya kendala aturan dan intervensi dari luar manajemen, yang banyak dialami  khususnya pada PG-PG BUMN, terbatasnya kwalitas dan profesioanalitas SDM pada bidang-bidang tertentu); keterbatasan dana untuk  modal kerja dan  tidak optimalnya upgrading peralatan dan mesin-mesin pabrik, bergesernya penanaman tebu kearah lahan kering dan marjinal yang tingkat produktivitasnya relatif rendah dibanding sawah, tingkat efisiensi sebagian besar pabrik  juga relatif rendah ( < 75 %), dll. Kelemahan –kelemahan tersebut menyebabkan hasil kinerja industri gula secara nasional  rendah/ tidak optimal, yang ditandai adanya kecenderungan turunnya areal dan produksi gula dalam beberapa tahun terakhir.

Gelombang dari rantai permasalahan industri gula berbasis tebu tersebut hanya bisa di putus oleh kekuatan bersama, baik dari pemerintah selaku penentu kebijakan, pelaku industri (perusahaan/petani) dan  para pemangku kepentingan serta pengorbanan dan dukungan  masyarakat pengguna gula untuk dapat memberikan apresiaasi atas jerih payah petani/produsen tebu secara wajar dan berkeadilan. Mengingat potensi impor gula kedepan terus meningkat ( > 4,5 juta /tahun) maka keunggulan industri gula rafinasi yang telah disebut terdahulu, kiranya  dapat berkontribusi  sebagai sumber untuk pengumpulan dana gula yang dapat dipakai untuk membangun industri gula nasional.

Selanjutnya good will Pemerintah  sangat diharapkan untuk memutus rantai masalah tersebut, dengan mereview kembali berbagai kebijakan dan mensinkronkan satu sama lain , agar sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan karakteristik industri gula berbasis tebu, serta memberikan akses seluas-luasnya terhadap masyarakat khususnya para pemangku kepentingan dalam memperoleh data dan infomasi dibidang pergulaan serta responsive terhadap saran –saran  untuk kemajuan industri gula nasional.

Akhirnya Asosiasi Gula Indonesia (AGI ) sebagai wadah perusahaan-perusahaan  gula di Indonesia (sejauh ini telah  memiliki reputasi ditataran nasional maupun internasional dalam bidang pergulaan)  yang antara lain berfungsi untuk memperjuangkan kepentingan   anggota,  kiranya  dapat mengambil peran aktif dalam pemecahan masalah –masalah tersebut  dengan melakukan pendekatan, dialog, rekomendasi, desakan, kerja sama  serta tuntutan kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *